Sabtu, 19 Maret 2011

Supermoon

Udah liat fenomena supermoon belum? Kalau belum ayo cepat keluar dari rumah dan lihat bulan di angkasa sana...indah bukan? Seperti matahari malam hari...bentuk bulannya sangat bulat..seperti ada cahaya yang mengitari bulan tidak seperti biasanya...sayang kalau dilewatkan...karna ini hanya teerjadi 18 tahun sekali...kita akan melihatnya pada 2029 lagi...
Fenomena langka ini sangat cocok untuk dijadikan berita..


Bulan purnama super (supermoon) pada Sabtu-Minggu, 19-20 Maret, besok, diprediksi menimbulkan berbagai bencana alam karena memiliki kekuatan yang lebih besar dari biasanya. Sebab bulan purnama yang terjadi 18 tahun sekali itu, jaraknya paling dekat dengan bumi dibanding bulan purnama biasa.

Supermoon akan terlihat lebih indah, lebih besar, dan bercahaya lebih cerah. Namun, di balik semua itu, supermoon memberi dampak ekstrim bagi bumi, sebab memicu terjadinya pergerakan di bumi secara mendadak, akibat pengaruh gravitasi bumi.

Dikutip dari dongeng geologi pada rovicky.wordpress.com disebutkan, teori terjadinya gempa sering disebut “elastic rebound” atau proses pelentingan. Seperti ketapel, bila dilepas maka karet akan melentingkan batu yang ada di dalamnya. Sama juga dengan gempa, akibat tekanan pergeseran lempeng tektonik yangg tertahan, maka efeknya akan seperti karet yang tertahan. Nah, penahan itu sangat dipengaruhi oleh beratnya sendiri, di mana berat benda tentunya tergantung dari gravitasinya.

Kita tentu pernah melihat, kalau gravitasi di angkasa sangat kecil, sehingga membuat benda melayang. Nah, gravitasi di bumi sebenarnya juga berfluktuasi sesuai dengan adanya bulan (daya tarik bulan) dan juga tentunya matahari. Penelitian lain yang menunjukkan di mana daerah-daerah matang terjadinya gempa, perlu diketahui. Dan melihat kondiri pasang surut, bukan hal sia-sia, namun tidak perlu takut apalagi terus fobia, terhadap bulan purnama. Hanya perlu waspada pada saat bulan purnama.



Terjadi Pukul 02.10 WIB
ASTRONOM dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin sebagaimana dilansir tempointeraktif.com menyebutkan, pada 19 Maret 2011, bulan akan berada pada jarak terdekat dengan bumi sekaligus hampir bersamaan dengan puncak purnama.

Berdasarkan data astronomi, pada hari itu pukul 19.10 GMT atau 20 Maret pukul 02.10 WIB, jarak bulan dengan bumi 356.577 kilometer. Sejam sebelumnya, puncak purnama terjadi pada 19 Maret pukul 18.11 GMT atau 20 Maret pukul 01.11 WIB.

Dalam istilah astrologi, posisi itu dikenal sebagai super moon atau extreme super moon yang diyakini sebagian orang sebagai pertanda bencana bagi kehidupan makhluk di bumi. Namun menurut Djamaluddin, kalangan astronom tidak mengenal istilah tersebut, dan menepis ramalan bencana.

“Kita harus faham perbedaan astrologi dan astronomi,” katanya.
Astrologi adalah pemahaman bahwa posisi benda-benda langit berpengaruh pada nasib kehidupan manusia di bumi. Astrologi, kata peneliti senior astronomi dan astrofisika, itu bukanlah cabang sains. Sedangkan astronomi adalah cabang sains atau ilmu pengetahuan yang mempelajari gerakan dan kondisi fisik benda-benda langit.

Dia mengatakan, kejadian jarak bulan terdekat dengan bumi (perigee) adalah peristiwa bulanan, walau jaraknya bervariasi dengan periodenya rata-rata 27,3 hari. Begitu pula peristiwa bulan purnama dengan periode sekitar 29,5 hari. Karena perbedaan periode itu, kemunculan perigee yang bersamaan dengan purnama hanya bisa terjadi 18 tahun sekali.

Sejauh ini, kata dia, tidak ada bukti ilmiah yang mengaitkan extreme super moon dengan segala bencana 18 tahun lalu pada Maret 1993 atau sebelumnya. Tapi yang pasti harus diwaspadai adalah dampak menguatnya efek pasang surut di bumi terutama pada air laut ketika puncak bulan purnama dengan jarak bulan terdekat.

Bila cuaca buruk di laut dan wilayah pantai diperkuat dengan efek pasang maksimum saat perigee dan purnama, ujarnya, harus diwaspadai potensi bahaya di wilayah pantai yang mungkin saja menyebabkan banjir pasang (rob) yang lebih besar dari biasanya.

Demikian juga bila penumpukan energi di wilayah rentan gempa dan gunung meletus, efek penguatan pasang surut bulan mungkin berpotensi menjadi pemicu pelepasan energi.

Tetapi kondisi perigee bulan bersamaan dengan purnama bukan sebagai sebab utama bencana, tetapi bisa menjadi pemicu efek penguatan faktor lain. “Artinya, kalau tidak ada indikasi cuaca buruk di wilayah pantai atau tidak ada penumpukan energi di wilayah rawan gempa dan wilayah rawan gunung meletus, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan posisi perigee bulan bersamaan dengan purnama,” kata Djamaluddin (*)

Sumber: kaskus.us

Amalia Aswin

0 komentar:

Posting Komentar